Muhammad Zein Alhadad Ungkap Kisah di Balik Layar Bubarnya Niac Mitra: Kekecewaan dan Kenangan Manis

7 hours ago 2

Bola.com, Jakarta - Niac Mitra menjadi satu di antara klub era Galatama yang bubar. Tim yang dimiliki Agustinus Wenas, seorang pengusaha bioskop tersebut cukup disegani kala itu.

Nama Niac Mitra tentu tidak asing bagi publik sepak bola Indonesia di era Liga Sepak Bola Utama alias Galatama atau medio 1980-an. Sebuah klub besar yang menorehkan prestasi gemilang selama satu dasawarsa.

Klub asal Surabaya itu menjadi tim tersukses dengan torehan tiga kali juara serta sekali runner-up kompetisi Galatama. Niac Mitra juga pernah merengkuh gelar juara Aga Khan Gold Cup 1979 di Bangladesh, yang menjadi cikal bakal Liga Champions Asia saat ini.

Muhammad Zein Alhadad adalah saksi hidup bubarnya klub Galatama tersebut. Striker andalan Niac Mitra itu begitu sedih dan kecewa ketika melihat satu-satunya tim yang dibelanya harus bubar.

Yuk gabung channel whatsapp Bola.com untuk mendapatkan berita-berita terbaru tentang Timnas Indonesia, BRI Liga 1, Liga Champions, Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, bola voli, MotoGP, hingga bulutangkis. Klik di sini (JOIN)

Alasan Bubar

Belum lama ini, Zein Alhadad menjadi bintang tamu di kanal YouTube Bicara Bola milik Akmal Marhali. Dalam perbincangan tersebut pria yang akrab disapa Mamak itu bercerita mengenai alasan bubarnya Niac Mitra.

"Yang saya pernah dengar dan tahu, Pak Wenas (pendiri Niac Mitra) kecewa karena pada saat itu kompetisi dibagi dua wilayah. Nah, menurutnya, kalau kompetisi ya satu wilayah," ujar Mamak.

"Liga digabung itu tahun 1994, namanya Ligina 1. Saya sudah di Assyabaab waktu itu. Jadi 1990 itu karena mau digabung, Pak Wenas enggak mau akhirnya bubar karena kalau dibagi dua wilayah mainnya sedikit."

"Tapi kalau ketemu semua kan, ada 18 tim berarti 17 kali away dan 17 kali home. Sementara Niac Mitra begitu main selalu full penonton. Sebab lain saya enggak tahu, yang saya dengar-dengar waktu itu seperti itu," sambungnya.

Rangkap Player Coach

Setelah Niac Mitra bubar, Mamak memutuskan gantung sepatu. Berbekal pengalamannya sebagai pemain dia dipercaya asisten pelatih klub asal Surabaya lainnya, Assyabaab Galatama, pada 1991-1993.

"Tahun 1990 ketika Niac Mitra bubar, saya didatangi teman-teman karena waktu itu ada namanya Assyabaab Galatama. Jadi tahun 1990 itu muncul Assyabaab Galatama. Saya di Niac Mitra waktu itu rupanya enggak begitu lama, Niac Mitra bubar, saya ditarik sebagai pemain," kenangnya.

"Tapi baru beberapa bulan, kekosongan pelatih. Saya naik menjadi player coach. Asisten pelatih, merangkap pemain dan pernah lawan Barito Putera. Saya masih ingat itu tahun 1994."

"Saya ingat persis setengah mainan 0-0. Penonton di atas sudah teriak-teriak. Dapat lima menit, saya bilang sama asisten, tulis nama saya karena penonton di atas sudah teriak-teriak. Saya main," lanjut Mamak.

Madu dan Racun

Dengan situasi yang cukup mendesak karena timnya belum pecah telur, Mamak memutuskan untuk ikut bermain. Pria berusia 63 tahun itu pun akhirnya membawa Assyabaab unggul 1-0.

"Saya main, pemikiran saya ada dua. Ini madu atau racun. Kalau saya masuk, menang menjadi madu. Tapi kalau saya masuk kalah, maka jadi racun. Tapi saya yakin dan optimistis," terangnya.

"Minimal saya masuk bisa memberi motivasi kepada pemain dan taktik strategi yang saya jalankan bisa lebih baik, karena mereka pasti sungkan kalau pelatihnya masuk. Akhirnya menang 1-0. Maka koran-koran dulu kan judulnya 'Alhadad, Madu dan Racun'," imbuh Mamak.

Dapat Bonus Besar

Pada kesempatan tersebut, Akmal Marhali menanyakan besaran gaji yang diterima selama memperkuat Niac Mitra. Mamak menyebut, ketika itu pemain selalu mendapat bonus besar di tiap partai home.

"Niac Mitra dulu besar di bonusnya. Setiap pertandingan, Stadion Tambaksari penuh. Saya masih ingat dulu, Pak Wenas kasih 20 persen dari hasil penonton. Jadi ketika masuk lapangan, saya dan teman-teman sudah ngitungin," kata Mamak.

"Dulu gaji enggak besar makanya pemain sekarang rugi kalau tidak punya tekad kuat, berlatih keras, dan disiplin, rugi karena sepak bola sekarang bisa menjadi kehidupan. Bahkan bisa mendapat miliaran. Zaman dulu kita main bola, ditepuki penonton, menang sudah senang," pungkasnya.

Read Entire Article
Bola Indonesia |